Tata kelola Migas dan Keberpihakan Pemerintah

Energi
adalah elemen vital dan strategis karena menguasai hajat hidup orang banyak.
Hal ini menyebabkan perlunya aturan yang jernih demi menegakkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia serta kepemimpin
yang tegas dalam
mengendalikan dinamika sosial, ekonomi maupun politik, agar tetap terarah pada
pencapaian tujuan negara yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Tata
kelola migas
tidak terlepas dari pemolaan kebijakan pemerintah di bidang energi dengan berbagai
peraturan yang semestinya senantiasa merujuk pada konstitusi: “Bumi,air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Tata
kelola migas
saat ini yang didasarkan pada UU Migas No. 22/2001 menyebabkan negara kita banyak kehilangan kedaulatan.
Undang-undang ini menjadikan negara demikian dirugikan secara finansial, tata kelola migas menjadi sangat buruk, lemahnya ketahanan
energi dan ekonomi nasional serta negara kehilangan peluang untuk mengoptimalkan kekayaan sumber daya energi
yang sangat besar sebagai sumber pendanaan pembangunan infrastruktur.
Sebagaimana
diketahui, pengelolaan kekayaan migas, telah menyebabkan pengelolaan serta kondisi
investasi di Indonesia menjadi paling buruk di Asia-Oceania, lebih buruk dari semua negara tetangga (hasil survey 2011 Fraser Institute, Canada).
Selain
itu, berbagai aturan di bawah UU yang lain juga semakin memperburuk iklim
investasi eksplorasi. Satu diantaranya,berlakunya Peraturan Pemerintah
(PP) 79 yang
mengenakan PBB di wilayah kerja KKS eksplorasi. Kontraktor KKS harus menanggung
PBB dan hanya dapat memperoleh kembali sebagai biaya operasi setelah produksi.
Demikian
juga cost recovery yang seharusnya
dikeluargan dari APBN. Investasi migas oleh KKS tidak didanai oleh APBN.
Kesalahpahaman
ini dimulai sejak 2009 dengan memasukkan cost
recovery sebagai bagian dari APBN. Padahal cost recovery adalah
bagian yang diatur dalam mekanisme KKS yang memungkinkan perusahaan migas
menerima penegembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan untuk melakukan
kegiatan operasi.
Tentang
subsidi BBM, nilai subsidi dari tahun ke tahun akan semakin membengkak dan cenderung melampaui
anggaran. Pemerintah mengalami resiko
perubahan harga minyak di pasar dunia dengan selisih kurs terhadap mata uang USD.
Pemerintah juga sangat memiliki keterbatasan anggaran untuk subsidi yang menyebabkan
senantiasa dihantui oleh defisit anggaran. Hal yang lain dari adanya disparitas
harga BBM pada pasar dunia dengan BBM subsidi dalam negeri menyebabkan
munculnya prilaku penyelundupan yang besar-besaran.
Namun
bagaimanapun pengelolaan Minyak dan Gas
(Migas) Indonesia merupakan satu
permasalahan nasional yang saat ini sangat mendesak untuk diselesaikan
secara tuntas dan menyeluruh. Realitas saat ini, kebutuhan bahan bakar minyak
(BBM) semakin lama semakin tinggi, yang berakibat semakin membengkaknya subsidi
yang harus ditanggung pemerintah.
Pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, dana yang dianggarkan
pemerintah untuk subsidi BBM sebesar Rp 210,735 triliun, atau membengkak Rp 11
triliun dibanding besaran subsidi pada APBN-Perubahan 2013 sebesar Rp 199,850
triliun.
Dengan
jumlah subsidi yang semakin lama semakin membengkak setiap tahunnya, maka
dampaknya akan senantiasa membebani APBN dan dengan sendirinya akan berdampak
pula pada terganggunya alokasi dana lain untuk pembangunan. Akibat semua itu
adalah berbagai program untuk fasilitas publik akan sulit rampung sesuai dengan
tahun anggaran yang sudah ditetapkan.
Salah
satu yang menjadi program utama pemerintahan Jokowi-JK adalah bagaimana menekan
subsidi BBM yang juga dinilai banyak
tidak tepat tepat pada sasaran subsidi itu sendiri. Dengan demikian
pemerintahan baru Jokowi-JK perlu melahirkan sebuah terobosan kebijakan strategis
yang mampu mendukung program tersebut untuk mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi nasional.
Dalam
konteks kebijakan pengelolaan Migas Nasional, umum telah diketahui bahwa
terdapat berbagai kesalahan yang bisa dikatakan cukup fatal yang ironisnya
terus saja terjadi dan merugikan Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak
dan gas bumi di dunia yang kemudian harus menghadapi kenyataan bila saat
ini telah menjadi negara net importir
minyak.
Salah
satu contoh nyata dari bagaimana pengelolaan Migas Nasional justru semakin
merugikan bangsa sendiri adalah diundangkannya
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 di mana 70% migas kita langsung dikuasai
pihak asing. Akibatnya, keuntungan yang diharapkan bisa dimaksimalkan untuk
kesejahteraan rakyat, tidak pernah tercapai.
Dengan
demikian, pemerintah baru Jokowi-JK harus menata kembali sistem pengelolaan
migas kita, sehingga keuntungan sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia. Di samping itu, banyaknya masalah yang ditimbulkan dalam pembentukan
BP Migas selama inimemerlukan solusi yang tepat sehingga tidak merugikan negara
dan masyarakat Indonesia.
Keberpihakan
Pada Rakyat
Dengan
demikian, dalam
permasalahan Migas Nasional, memang sangat diperlukan terobosan baru dan
komitmen sangat besar dari pemerintah. Salah satu yang cukup dominan dalam permasalahan ini
adalah buruknya kebijakan tata kekola kebijakan Minyak dan Gas Indonesia, sehingga
dampak yang dihasilkannya adalah tidak termanfaatkannya dengan maksimal
sumberdaya alam ini untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Berbagai
macam kebijakan seperti pembentukan BPH Migas serta keberadaan PT. Petral yang
sebenarnya merupakan anak perusahaan PT.Pertamina, namun berkedudukan di
Singapura. Petral inilah yang selama ini menjadi perusahaan “broker” yang disinyalir dikuasai oleh
para mafia migas serta menangguk keuntungan besar dari perdagangan minyak untuk
kepentingan segelintir petinggi negara dan para mafia migas. Dengan demikian,
ke depan diharapkan bahwa model perdangangan minyak tidak lagi dipercayakan
pada sebuah perusahaan yang tidak mampu diaudit oleh lembaga audit negara (BPK)
karena berkedudukan di luar negeri, namun langsung ditangani oleh negara lewat Government to Government (G to G).
Hal
yang lain adalah berkaitan dengan subsidi BBM yang semakin membengkak dan tidak
tepat sasaran. Untuk itu diperlukan terobosan kebijakan baru untuk lebih
menekan subsidi BBM agar alokasi anggaran tidak tergerus hanya untuk memberi
subsidi BBM yang selama ini lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah-atas dan
APBN bisa dimaksimalkan untuk kemanfaatan fasilitas pelayanan publik,
pembangunan infrastruktur serta pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan
seluruh rakyat.***
Post a Comment