Bangsa “Sumbu Pendek”
Adakah
sejarah kelahiran sebuah bangsa memang banyak dipicu oleh sebuah kemarahan?
Terus terang saya tidak tahu. Namun dari sebuah buku Benedict Anderson
(Imagined Communities), kita tahu hal itu tidak benar. Dalam buku yang laris itu
–walau diterangkan dengan kadar kekentalan bahasa yang cukup sulit
dikunyah—barangkali pesan yang ingin disampaikann Anderson cukup sederhana;
bahwa dalam setiap embrio kelahiran sebuah bangsa ada kebersahajaan yang
senantiasa mengiringinya. Orang bisa menyebut itu semacam “harapan” atau “mimpi”
Dalam embrio
kelahiran yang disebut bangsa ini, sekelompok manusia mendadak memiliki harapan
yang sama. Apa pun yang melatar belakangi lahirnya harapan tersebut, yang pasti
ada sejenis peneguhan untuk bisa saling merekatkan diri serta menjadikannya
sebagai identitas baru. Identitas bangsa.
Namun, adakah
sebuah bangsa yang menjadikan kemarahan sebagai identitas diri yang baru? Saya tak
berani menjawabnya. Tapi kebencian yang lahir dari kemarahan bisa dipastikan
akan merapuhkan identitas harapan dari lahirnya sebuah bangsa.
Barangkali
fenomena ini juga terjadi di sini. Di Indonesia. Di mana kebencian dan
kemarahan menjadi bagian yang paling mengemuka
dalam dinamika warganya. Kemarahan yang terus beranak-pinak menjadikan
bangsa ini terlihat “bersumbu pendek”. Demikian gampang meledak. Sejarah kosa
kata bahasa Indonesia kemudian merangkumnya dengan kata ‘kalap”.
Memang ada
yang hilang dalam ruang kerekatan identitas harapan itu akhir-akhir ini. Saling
caci-mencaci, fitnah dan serapah berkumandang bagai “trompet perang” yang
memanggil kebencian untuk dipertontonkan di muka umum. Dan sebagian dari kita
menikmati hancurnya harapan itu. *
Post a Comment